Saturday 3 September 2016

Sekeping Patung Hati dari Yogyakarta

Udara Kasongan, Bantul, Yogyakarta siang itu cukup panas. Sepeda motor kupacu dengan cepat. Biasanya, meskipun udara panas, saya tetap santai. Entah kenapa hari ini, ingin cepat sampai ke Kios Darti di Kasongan.

Dua hari yang lalu, Darti mengabarkan bapaknya membuat kerajinan dari gerabah. Dua keping patung hati. Bentuknya hati, tapi bisa dilepas. Kata bapaknya Darti, patung hati itu mau dijual terpisah. Lah, saya mana mau. Dua keping patung hati itu harus kudapatkan. Sebulan lagi, sahabat terbaikku, menikah. Cocok sekali patung hati tersebut dijadikan kado. Ya kan?

Bruuug!

"Maaf, maaf mas, pak, aduh om...maaf ya"
Hupf, baru mau parkir di samping kios Darti, sudah nabrak orang. Antara cepat-cepat ingin menggambil patung hati sama lapar. Heee.

Lelaki yang kutabrak tas rangselnya hanya melengos dan langsung membuang muka. Huuh, sombong amat. Awas ya, kutandain kamyu. Lelaki tinggi sekitar 185 cm. Berkaca mata minus dan menggunakan kaos Jersey AC Milan, dengan nomor punggung 6.

"Sombong banget sich jadi orang, marah kek, bilang iya kek, apa kek, melenggos begitu saja! bikin keki tahu!"

Saya masih saja ngedumel gak karuan, sewaktu masuk ke kios Darti. Sampai tidak sadar, bapak Darti memperhatikan sikapku sewaktu masuk.

"Opo to, nok?, siang-siang kok ngedumel?"

"Eh Bapak, ya ampun, Sampai gak tahu, ada bapak di situ"
Kuletakkan tas slempangku di bangku, sembari melihat-lihat hasil karya bapak Darti. Saya terus mencari dengan mata seperti mata yang tak mengenal lelah berkedip. Kata Darti patung hati itu lumayan besar, tidak diberi warna dan diletakkan di display paling depan.

Picture from Pixabay


"La, kok gak masuk saja sana ke belakang! Darti mangan opo turu, mbuh, kui." Bapak Darti mengagetkan pencarianku, daaaan.

"Nah, ini dia!...and where? ndi, to, Pak? kok setengah tok iki?"

"Opone setengah? oooh, patung hati kui?"

"Lah iyo, pundi to pak, ingkang setengahe?"

Bapak Darti duduk di dipan di dekat pintu. Saya mengikuti dan duduk di sebelahnya. Iya, saya benar-benar bersabar. Biar dikasih gratis sebetulnya. Hehee.

"Sudah dibeli sama orang!"

"Haaaaaaah? emang Darti mboten sanjang to, Pak?"

"Ngomong opo?"

"Saya mau ambil semuanya, mau buat kado nikahan temanku, Pak?"

"Lah, ya ora to? Darti ora ngomong, opo-opo"

"Dartiiiiiiiiiii!"

--------------------------

Jakarta, 23 Agustus 2006.

Hari ini tepat sudah 6 tahun meninggalkan Yogyakarta. Kangen Pasar Bringharjo. Kangen duduk-duduk di depan Gedung Agung. Kangen makan lesehan di depan Tugu.

Terakhir ke Yogya, 3 tahun lalu. Nikahan Darti. Aku ditanya sama Bapaknya Darti.

"Piye, nok? kok urung wae ngirim undangan nikahan?"

"Hehee, dereng, Pak"

Ludah ketelan dengan pahit. Mengingat percakapan dengan Wangsa setahun yang lalu. Wangsa memilih menikah dengan teman sekerjanya di sana. Wangsa memastikan saya baik-baik saja. Wangsa minta maaf, meskipun saya dan Wangsa, belum terikat hubungan apapun. Wangsa hanya menjadi pendamping keseharianku, meskipun sudah terpisah jarak.

Sudahlah, Wangsa bukan jodohku. Wangsa bukan lelaki yang menjadi pengantin laki-laki yang menemaniku. Wangsa harus menjadi masa lalu, sekarang saya harus meninggalkan kenangan dari Yogyakarta. Meninggalkan semua kenangan tentang Yogyakarta. Lelah sudah.

Hingga suatu hari, saya tidak pernah bosan untuk merapikan patung hati dari Yogyakarta. Patung yang menjadi hiasan di atas meja di ruang depan.

10 tahun setengah patung hati lelah sendirian. 10 tahun setengah patung menemani hiruk pikut kekosongan hati. Patung hati itu, akhirnya bisa bersanding kembali. Disatukan dengan kesakralan prosesi. Dengan saksi pernikahan sang pembuat patung hati.

"Sudah siap ke Yogya lagi, Nay?"

"Nay, ke Yogya ya akhir tahun ini?"

"Nay!"

Eh, hay, lelaki berkaca mata minus menggoyangkan lenganku. 

Aku mematung mendengar kata Yogya ketika sedang membersihkan patung hati ini. Pemilik setengah patung hati ini, 10 tahun lalu traveling ke Yogyakarta. Membeli dengan seenak dompetnya dan membawa setengah patung hati ke Jakarta.


Untuk apa aku harus ke Yogya, kalau di sini saya sudah bersama belahan jiwa.
Menyandingkan dan menyatukan sekeping patung hati, yang telah lama sendiri.

Untuk apa aku harus menggantung hatiku, jika seseorang yang kutunggu tidak pernah menanyakan hatiku. lelaki berkaos Jersey, terima kasih telah menolongku di koridor TransJakarta. Dua tahun lalu memapahku untuk duduk, setelah terjatuh karena bus mengerem mendadak.

Untuk bapak Darti, terima kasih banyak membentuk gerabah, sehinga menjadi sebuah karya yang indah. Karya yang semoga akan selalu menyatu dalam ikatan pernikahan. Terima kasih patung hati dari Yogyakarta.

5 comments:

  1. Yogjakarta menyimpan sejuta rasa. Rasa kecewa dan rasa bahagia. Semua itu adalah cinta penyebabnya.

    ReplyDelete
  2. Jogja memang indah. Itulah di antara sebab hingga kini, saya di sini :)

    ReplyDelete
  3. Waaa ceritanya romantik tapi sedih.

    ReplyDelete
  4. Ceritanya bikin aku meneteskan air mata

    ReplyDelete

Mohon maafkeun, komentar kali ini dimoderasi ya. Terima kasih