Saturday 1 February 2014

Puisi Hati

Hati dan puisi saling mengisi,
Terketuk hati, menulis puisi.

Kadang butuh waktu lama untuk membuat satu bait puisi, kadang ketika sedang tidak ingin menulis puisi...tiba-tiba aliran kata yang merangkai menjadi kalimat begitu puitis. Apakah jemari ini punya nyawa? apakah jemari ini mampu menuliskannya sendiri?

Tentang sebuah puisi, tiap orang berbeda-beda ketika menuliskannya, santai bisa, serius bisa dan aku...pada sebuah malam, menulis rangkaian kata begitu mengalir, keluar begitu saja tanpa perlu dipikir, tanpa perlu menahan nafas dan tanpa perlu memikirkannya lama.

Yup, silahkan saja jika ada yang ingin mengartikan, pasti salah semua....hihiiii, kata-kata ini aku posting di beranda FB dan saat itu, smartphonelah satu-satunya benda yang bisa kujangkau. 

Berikut, ku copy paste rangkaian kata tersebut.


Setiap perubahan mang mengejutkan, terkadang ada senyum ataupun tangisan.

Misalnya dari berbadan kuyus jadi ndut.

Dari miskin ke kaya ....

Dari biasa saja jadi cantik....

Katanya mah perubahan kudu dijalanin.

Jadi? Mau jalan terus? Jalan belok? Jalan ke belakang/ mundur atauu....pilih berhenti?

Setiap pilihan ada konsekuensinya...

Aku, di pojokan kantor, meringis sembari berlarian riang...
Rangkaian kata pertama kali, saat keadaan tak mampu kuhadapi. Bersyukur masih tertulis kata yang indah.
Hey...putarlah tembok ini menjadi atas ke kanan

Tapi tolong, jangan injak kakimu, jangan keluarkan tanganmu dari dekapanku

Aku mau kamu kusandera, sebisaku, semampuku dalam tirai kegembiraan ini

Cukup, aku yang terlanjur menjadi beku dalam kehangatanmu

Di ujung gang, menoleh ke depan. Mengajakmu berdansa dalam hati.

Tsyaaah.
Kubaca kata-kata ini berulang, adalah terlihat ada apa denganku? nangis tergerus angin. Hm...Mengajakmu berdansa dalam hati, seriuskah? mungkin jika memang inilah yang terbaik. Etapi, terima kasih membuatku berimaginasi dan meliukkan kata hingga terangkai sebuah kalimat, Nice thanks.



Yuk nyusuri lagi,

Saat kilau sengatan pertama menjadi awal untuk hari baru.

Ganti, ganti lengkingan tawamu yang makin kurus tak beraturan.

Kataku, cukup! Jangan kau lanjutkan diammu.

Menjadikan patah sang arang tergerus panas yang kian menikam.

Ya...iya kamu, coba buka pita suaramu...aku ingin menelannya, agar tak ada lagi isakmu dalam lemari hatiku.

Malam, mencoba membangunkan mimpiku, sayang....aku telah lupa padamu.

Seonggok derita dari tepinya lautan...cukup atau lanjut?

Aku tidak begitu gembira, kaget iya...kok bisa kata-kata ini meluncur dengan sendirinya...hebat juga jemari mampu menghidupkan kata-kata dalam pikiranku.


Episode ini telah terbuang, jauh, jauh sebelum pelangi datang setelah hujan.

Masa sih?

Tak rindukah gelora nyanyian dalam imajinasimu?

Aku, aku takut jika aku menyerah....deburan awan tak lagi segar,

Aku, aku cukup pantas untuk mengedarkan penat di lemak emosimu

Haha...hahaa...jengkalan nadi dan jemari luput dari nafasmu.

Oh...bukan, bukan aku yang mau...tapi kerlingan suara itu...cukup mampu untuk kutelaah matang-matang.

Lelapku dalam ketukan sang waktu.

Ciluuuk, baaa? Good night, good sleeping and nice dream...

Jangan rindukan aku, aku tahu jika ada sebuah kata rindumu...itu aku telah tahu apa alasannya. 
Salam
Astin Astanti
Mohon maaf, setiap kata adalah aku, aku yang memiliki kata tersebut, aku yang merangkainya menjadi kalimat.


6 comments:

  1. Puisi yang bagus, ada diksi, pilihan kata yang ciamik pula
    Salam hangat dari Surabaya

    ReplyDelete
  2. Terima kasih Pakde, puisi yang terbangun dari kebingungan hati... hihiii

    ReplyDelete
  3. sy agak susah kl menerjemahkan arti puisi, Mak :)

    ReplyDelete

Mohon maafkeun, komentar kali ini dimoderasi ya. Terima kasih