Sunday 11 June 2017

Kenangan Berlatih Membaca Al-Quran di Waktu Kecil

Assalamu'alaikum teman-teman semua.

Alhamdulillah, sudah memasuki hari ke-17 di bulan Ramadan. Alhamdulillah, aku dan keluargaku diberikan kesehatan dan kemudahan dalam menjalani ibadah di bulan suci ini. Bulan di mana, umat muslim berlomba-lomba berbuat kebaikan dan menambah ibadahnya.

Salah satu ibadah yang banyak sekali dilakukan oleh umat muslim di bulan Ramadan adalah membaca Al-Qur'an. Al-Quran menjadi teman untuk menunggu waktu-waktu sholat atau menunggu waktu berbuka puasa. Intensitas membaca Al-Quran semakin ditingkatkan dalam bulan penuh ampunan ini.



Terus terang, aku bukan seorang ahli untuk menuliskan tentang Al-Quran. Jadi, aku ingin sharing kenangan berlatih membaca Al-Quran di waktu kecil. Kenangan yang tidak mungkin aku lupakan. Kenangan bersama teman-teman kecilku, berlarian menuju surau/ langgar/ saat ini dikenal dengan nama mushola. Kenangan berlatih Al-Quran ke rumah ustadz yang rumahnya jauh sekali. Iya, sama-sama dengan teman seumuran, aku berjalan kaki untuk berlatih membaca Al-Quran. Selain kenangan itu, ada kenangan bersama alm. Mbah Putri dan Mbah Kakung.

Berlarian Menuju Langgar, Berlatih Membaca Huruf Hijaiyah


Usia pra SD aku tinggal di sebuah kampung bernama Mertasinga. Di sinilah pertama kali aku mengenal huruf hijaiyah. Saat itu belum ada TPA, belum ada pelajaran mengaji  baik di TK maupun di SD. 

Kurang lebih kenangan itu terjadi di tahun 1986. Usiaku masih 4 tahun. Selain bapak dan ibu mengajariku mengenal huruf hijaiyah, yang nantinya menjadi bekal untuk membaca Al-Quran. Adzan Maghrib mengumandang, aku dan beberapa teman berlarian menuju langgar. Letaknya tidak begitu jauh dan juga tidak begitu dekat.

Kalau sekarang buku untuk mengenal huruf hijaiyah namanya IQRO atau UMMI. Lain dengan semasa aku kecil. Namanya Turutan. Unik ya namanya, tapi itulah namanya, dan jenis kertas yang digunakan pun berwarna agak kemerahan. Jadi kangen langgar yang biasa aku datangi. Sudah hampir 29 tahun aku meninggalkan kampung tersebut.

Berjalan Jauh Belajar IQRO di Taman Pendidikan Al-Quran


Berpindah tempat tinggal, bertemu dengan banyak teman. Aku tetap diberikan kesempatan untuk mengaji dan berlatih membaca Al-Quran. Masih satu kampung dengan tempat tinggal asal, tapi beda rumah. Aku mengaji di salah satu TPA yang berlokasi di salah satu mushola kampung. 

Jarak rumah dan TPA agak jauh. Lumayan jauh dan sebetulnya aku dan teman-teman membutuhkan sebuah sepeda. Tapi, jaman dahulu, berjalan kaki bersama-sama dengan jarak tempuh yang jauh, tidak begitu menjadi persoalan.

Usiaku sudah 10 tahun saat belajar mengaji di Taman Pendidikan Al-Quran tersebut. Lagi-lagi aku bersama dengan teman-teman seumuran. Teman-teman sekolah kebanyakan. Setiap hari  sebelum sholat Ashar, aku berangkat mengaji di TPA tersebut. 

Alhamdulillah, perkembangan dunia pendidikan Al-Quran sudah semakin maju. Di situlah aku pertama kali belajar membaca Al-Quran setelah lulus IQRO sampai jilid 6. Rasanya aku bahagia sekali dapat membawa mushaf. Membelainya dan mengelus-elus halaman demi halaman. Teman-teman seusia denganku juga ramai-ramai berlatih membaca Al-Quran.

Ada satu kenangan yang lucu. Aku dan teman-teman saling (mengejek) dalam tanda kutip ya. Apabila guru ngaji di TPA tidak menaikan atau tidak menambahkan halaman Al-Quran yang dibaca pada saat berlatih membaca Al-Quran.

Ejekan positif sich, karena aku dan teman-teman saling terpacu untuk berlatih membaca Al-Quran tidak hanya di TPA, tapi di rumah aku selalu menyempatkan untuk berlatih bersama kakak dan adikku. Hehehee, kalau diinget-inget lucu juga ya, jaman kecil dulu.

Hampir Menangis...


Aku tidak dapat melanjutkan kalimat di atas. Entahlah, aku hanya ingin menuliskan kenangan berlatih membaca Al-Quran bersama alm Mbah Putri dan Mbah Kakungku. Usia SMP aku tinggal bersama mereka di daerah yang bernama Sokaraja, Banyumas.

Berlatih membaca Al-Quran memang harus dilakukan setiap hari. Diulang-ulang supaya mendapatkan bacaan yang benar sesuai dengan tanda baca atau harakat dan sesuai dengan maghraj atau suara yang dikeluarkan untuk setiap huruf hijaiyah.

Di rumah alm Mbah, aku tidak perlu keluar rumah untuk berlatih membaca Al-Quran. Alm Mbah sendiri, adalah seorang guru mengaji di lingkungan tempat tinggalnya. Setiap habis sholat isya, anak-anak yang tinggal di dekat rumah Mbak, selalu berdatangan. Mereka membawa turutan, membawa iqro dan membawa Al-Quran.

Aku sempat diberikan kesempatan untuk mengajar anak-anak yang masih membaca turutan dan iqro. Ya Allah, aku kembali teringat saat menuliskan ini. Mbak Putri dan Mbah Kakung menginginkan aku untuk menggantikan mereka. Mbak Putri menginginkan aku menjadi guru mengaji. Tapi apalah aku, yang mengajar anakku mengaji baru tahap membaca sesuai dengan harakat. 

Terkahir aku tinggal di rumah alm. Mbah, kenangan itu sungguh menyesakkan dadaku. Setiap selesai sholat. Alm. Mbak Kakung langsung menahanku untuk tetap tinggal di tempat sholat. Mbak Kakung mengeluarkan dus bekas untuk dijadikan meja. Kemudian beliau menempatkan Al-Quran di atasnya dengan terlebih dahulu mengalasi dengan kain sorbannya.

Dari  Alm. Mbak berdua, aku mampu membaca Al-Quran. Aku belajar maghraj, aku belajar cara melagukan dan aku baru sedikit membaca tulisan hijaiyah tanpa tanda baca. Setelah itu, aku memilih tinggal bersama bapak dan ibuku lagi. Seandainya aku masih tetap melanjutkan berlatih membaca Al-Quran, mungkin aku dapat lebih baik lagi membaca Al-Qurannya.

Ya Allah, aku kangen dengan kenangan di atas. Aku ingin anak-anakku juga punya kenangan yang manis sewaktu mereka berlatih membaca Al-Quran di waktu kecil. Supaya mereka tetap memiliki bekasan pelajaran yang sangat berharga. Bahwa Al-Quran bukan hanya sebagai media pembelajaran tapi sebagai pedoman hidup, sebagai teman dikala bahagia dan sedih. Teman yang setiap hari senantiasa dibaca.

No comments:

Post a Comment

Mohon maafkeun, komentar kali ini dimoderasi ya. Terima kasih