Thursday 15 February 2018

Menyeimbangkan Sisi Maskulin dan Sisi Feminin di Dalam Diri Sendiri



[Life]


Lahir dan besar dari keluarga yang selalu bersama-sama. Bapak, ibu, kakak perempuan dan dua adik laki-laki selalu menemani saya tumbuh dan berkembang menjadi seorang gadis manis nan lugu. Dari ibu saya selalu melihat bagaimana beliau mengasuh kami, anak-anaknya. Melihatnya menyiapkan kebutuhan-kebutuhan kami sekeluarga. Mulai dari menyiapkan tempat tidur yang rapi, menyiapkan makanan yang sehat sampai membersihkan kamar mandi yang selalu nampak bersih.

Dari bapak saya belajar bagaimana memberikan tanggung jawab secara penuh. Bapak seoarang yang sigap dalam segala situasi. Saya mencontoh kesigapan bapak saat ada anggota keluarga yang sakit. Bapak dengan penuh perhatian akan menamani anggota keluarga yang sakit. Bapak juga selalu sigap membawa si sakit untuk pergi berobat. Bapak memberikan contoh tanggung jawab bagi anak-anaknya, hal-hal yang sederhana. Contohnya, membersihkan sepatu sekolah sendiri-sendiri. Merapikan lemari belajar dan memperbaiki sepeda atau peralatan rumah tangga yang rusak.


Suami Mengerjakan Pekerjaan Istri di Rumah, Wajarkan?


Saya belajar tugas ibu dan bapak dari rumah sendiri. Belajar pengasuhan orang tua kepada anak-anaknya dari rumah sendiri. Saya juga belajar saat ibu mengambil tugas memperbaiki selokan yang tersumbat, saat bapak sedang tidak ada di rumah. Saya belajar bagaimana terampilnya bapak, mengajari saya yang pertama kalinya memandikan bayi. Tidak ada hal yang tidak wajar, saat ibu memperbaiki saluran pembuangan air yang mampet. Atau bapak yang membeli kebutuhan bahan makanan di pasar, saat ibu sedang berhalangan ke luar rumah. Alhamdulillah saya belajar semua itu dari dalam rumah sendiri.


Menjalani peran sebagai istri dan ibu dari dua anak, laki-laki dan perempuan tersayang sangat membahagiakan. Tidak ada alasan untuk tidak bahagia. Didampingi oleh suami yang bukan hanya sebagai partner dalam pengasuhan anak-anak. Namun, beliau juga berkenan saat saya  meminta dibantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Membangunkan anak, memasak air panas untuk mandi anak, membeli cabe atau sayuran di pasar, sampai menyuapi anak makan. Kami berdua, tidak pernah memisah-misahkan, pekerjaan ini kamu yang handle, pekerjaan itu saya yang handle. Pemisahannya hanya, suami bekerja di luar rumah, saya di rumah mengurus anak-anak. Pahalanya sama, Insya Allah.

Dengan tidak adanya pemisahan pekerjaan di dalam rumah. Saya dan suamipun bergantian menghandle hal-hal yang harus dikerjakan. Saat saya tidak bisa mengerjakan, suami yang mengerjakan. Saat suami sedang tidak dapat mengerjakan, saya ganti yang mengerjakan. Saat kami tidak dapat mengerjakan, ya sudah, kami tinggalkan pekerjaan tersebut. Contohnya, saya memasak beberapa menu dan sudah terlalu lelah untuk mencuci piring. Suami dengan ikhlas mengambil alih pekerjaan mencuci piring tersebut. Suami sedang mengerjakan pekerjaan kantor di rumah, kamar mandi belum di sikat, saya harus mau mengerjakan pekerjaan tersebut. Saat kami sedang kelelahan dari bepergian dan rumah kotor, ya mending tidur saja, kan. 

Sisi Maskulin - Kalau Saya Bisa, Kenapa Tidak?


Bapak pemilik toko bangunan, mungkin sudah tidak heran lagi, saat saya wira wiri ke toko bangunannya. Beberapa kali, saya sering datang ke tokonya dengan membeli barang yang menurut dia, adalah tugas laki-laki. Suatu kali, bapak pemilik toko bangunan meledek saya saat membeli palu. Saya hanya tersenyum dan mengatakan, kalau saya bisa beli sendiri, kenapa harus menunggu suami? toh butuhnya juga mendesak. Mungkin bukan hanya saya saja yang wira wiri ke toko bangunan sendiri, kan. Terakhir saya membeli plastik fiber glass untuk menutup pagar.

Menyeimbangkan Sisi Maskulin dan Sisi Feminim di Dalam Diri Sendiri


Sebelum saya menikahpun, saya pernah membeli rak bersusun tiga untuk rak televisi. Bapak pemilik toko, mengikat rak tersebut di belakang sepeda motorku. Untuk menuju rumah petak di Pondok Labu, kala itu, saya harus melewati gang sempit. Saya sampa sekali tidak berpikir dulu, apakah saya bisa melakukannya atau tidak, yang jelas, kalau saya pasti mampu melewatinya. Hal tersebut sampai sekarang selalu terbawa meskipun sudah memiliki suami. Apabila suami sedang mengerjakan pekerjaan kantor, saat mesin cuci rusak, saya berusaha mencari tahu, apa yang rusak dan bagaimana memperbaikinya sendiri. Apabila butuh penanganan tukang service, baru dech, saya yang menghubungi tukang service-nya.


Sisi Feminin - Mengenal Bedak di Masa Kuliah


Masih ingat, kapan pertama kali mengenal pelembab wajah? bedak, susu pembersih sampai lulur? yang saya masih ingat, saat duduk di bangku SMA, kakak perempuanku memaksa saya untuk memakai bedak, memakai lotion supaya kulitku tak bersisik. Ya ampun, masa remajaku tak begitu peduli untuk merawat kulit tubuh, kulit wajah ataupun gaya berpakaian. Saat kakak perempuanku mencari sepatu a la paskibraka, saya mencari sandal gunung. Saat kakak perempuanku mencari dress panjang, saya mencari celana kulot. Saat kakak perempuanku membaca novel, saya membaca buku pegangan untuk pelajar bidang studi bangunan, yang kala itu nama sekolahnya STM. 

Alhamdulillah pergaulan yang saya ikuti membawa saya ke arah yang benar. Saat itu ada beberapa teman-teman yang tomboy. Mungkin, saat pilihan pergaulanku sering dengan teman-teman yang tomboy, saat kuliah bakalan tak mau menggunakan tas a la ibu-ibu pejabat pergi ke arisan. Masa kuliahlah masa di mana saya mulai peduli tentang diri sendiri. Saya mulai belanja yang namanya bedak, lotion, lulur dan baju yang feminin. Entahlah, saya lebih menyukai celana cutbray, dibandingkan rok panjang. Saya lebih suka kaos kombor dibandingkan dress atau tunik yang ibu buatkan.


Seimbangkan Ke-Dua Sisi Tersebut


Saat saya sudah menjadi seorang istri dan ibu, saya harus berani untuk menyeimbangkan ke dua sisi tersebut. Apalagi, saya memiliki dua anak, satu laki-laki dan satu perempuan. Anak laki-laki, saya terus upayakan harus selalu dekat dengan bapaknya. Suami juga selalu mengajak anak laki-laki saya saat mengerjakan pekerjaan yang "laki-laki" banget. Contoh paling sederhana, saat suami sedang memperbaiki pintu gerbang, anak laki-laki harus dilibatkan.

Pelajaran yang paling membuat saya tertegun adalah, saat suami saya meminta saya berdandan tidak di depan anak laki-laki saya. Tapi, akhirnya saya menjelaskan kepada anak laki-laki saya, bahwa anak laki-laki berdandan hanya sebatas merapikan rambut dengan gel, memakai wewangian, tidak ada dandan yang ribet seperti saya. Suami yang dulu sering minta dibersihkan wajahnya, juga sudah tidak pernah meminta saya membersihkannya. Tujuannya, supaya anak laki-laki saya tidak mencontoh.

Selain hal-hal yang umum, saya pun harus mampu mengembangkan sisi maskulin saat suami belum tiba di rumah, tapi ada hal yang harus dikerjakan. Contohnya memperbaiki engsel pintu yang rusak. Apabila saya harus menunggu suami pulang kantor di malam hari, sedangkan engsel pintu rusak siang, bagaimana saya bisa keluar masuk ke kamar mandi dengan nyaman? Ya bagaimanapun caranya engsel tersebut bisa terpasang meski sementara.

Insya Allah, apabila dua sisi tersebut dapat seimbang dan tidak hanya menonjol di satu sisi, anak-anak juga mendapatkan contoh terbaik dari orang tuanya. Anak-anak adalah peniru yang ulung, jadi sebaiknya tonjolkan sisi diri yang tepat di depan anak-anak. Saat saya menulis ini, yang terbayang kok teman kuliah yang tomboy ya. Beberapa hari kemarin bertemu di media sosial facebook dan anaknya masih tomboy sekali, hehehe, keren banget dia sekarang. 

6 comments:

  1. Iiiich, asyik banget baca postingan ini. Bunda mah da gak bisa nulis sebagus ini, Astin, gak terpikir. Yang ada langsung tembak aja, hehe... Maksudnya lansung tembak dari google.

    ReplyDelete
  2. Dulu ketika di pesantren, saya biasa masak sendiri (maksudnya bersama kelompok santri) ketika mau makan. Maka, biasa pula cuci piring dan alat masak lainnya. Ketika nikah, kebetulan keluarga istri termasuk memandang aneh bila ada lelaki ikut masak di dapur. Awal-awal dulu dilarang, tapi sekarang sudah biasa bila saya kadang ikut membantu di dapur.

    ReplyDelete
  3. Menurut saya sih bukan maskulin tapi pribadi yg mandiri. Emak-emak strong kudu punya jiwa seperti ini

    ReplyDelete
  4. hebat banget deh nbak astin, supermom
    aku kalau urusan pertukangan gitu serahin ke suami aja, kalau suami juga gak bisa ya udah deh panggil orang yang ahli hehehe

    ReplyDelete
  5. Keren banget, Mbak. :D Tapi memang seorang wanita kadang dihadapkan pada keadaan seperti itu. Apalagi ibu-ibu. :D

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah, aku dan suami saling tolong menolong, tanpa melihat itu seharusnya pekerjaan laki-laki atau perempuan. Yang penting kompak.

    ReplyDelete

Mohon maafkeun, komentar kali ini dimoderasi ya. Terima kasih