Rumah : Perjalanan Memiliki dan Mewujudkan Rumah Impian
Pasangan mana sih yang tidak menginginkan memiliki sebuah rumah. Saya tidak terlalu ingat, apakah sebelum menikah saya dan suami pernah berdiskusi untuk memiliki sebuah rumah tinggal atau tidak. Tapi kami bahagia-bahagia saja sejak hari pertama menikah. Tinggal di rumah petakan kecil di daerah Pangkalan Jati, Depok. Kemudian pindah rumah petakan berikutnya yang lebih nyaman untuk ditinggali, di Gandul, Depok.
![]() |
Gambar dari OLX, ini gambaran petakan yang cakep ya, dulu petakanku gak sebegini cakep |
Buat teman-teman yang belum paham bagaimana rumah petak? sini saya jelaskan dengan sabar. Rumah petak menjadi rumah paling familiar saat saya bekerja sebagai medical representatif di daerah Jakarta Selatan. Sejujurnya sayapun baru mengetahui saat itu. Rumah dengan kisaran ukuran 3 x 7 atau paling mevvah adalah ukuran 3 x 9. Dengan 4 buah ruangan yang disekat-sekat. Sekat pertama untuk ruang tamu, sekat ke dua untuk ruang tidur dan sekat terakhir di bagian belakang untuk kamar mandi dan dapur.
Rumah petakku di daerah Pangkalan Jati, termasuk rumah petak yang katanya sangat memprihatikan. Posisi rumah petakan ini ada di bagian belakang area petakan milik Pak Haji. Lebar gang untuk masuknya tuh, gak sampai satu meter loh. Harga sewa pada tahun 2008 lalu adalah 650.000 rupiah belum termasuk bayar listrik. Alhamdulillah kami tuh bahagia-bahagia saja dan tidak pernah mengeluhkan rumah sempit atau rumah tidak nyaman. 😎
Saya kan bekerja dari pagi sampai malam hari, meskipun siang hari bisa pulang dan bobo siang, hehehee. Jadi, saya tidak terlalu meribetkan rumahnya tidak nyaman dan berisiknya rumah petakan. Hal yang membuatku memutuskan untuk pindah rumah ke petakan selanjutnya adalah, banyak kecoa. Ya Allah, saat itu saya sedang hamil anak pertama. Nah di kamar mandi itu, sering sekali muncul kecoa. Pernah suatu malam, saya merasa ada kecoa di bagian mana gitu. Reflek dong saya kaget dan ngebangunin suami. Eh suamiku kaget juga dan marah. 😷
Diputuskanlah kami pindah rumah petakan. Sebetulnya suasananya nyaman, meski kadang ada tetangga petakan yang mengatur suara musik dengan volume yang kuenceng banget. Tapi namanya ibu hamil pertama kali, masalah kecoa cukup membuat saya makin sedih. Setelah dipikir matang-matang dan pencarian rumah petakan itu tidak semudah membalik tangan, hay Marimar. Kami menemukan rumah petakan yang bisa dikatakan lebih bersih.
Rumah petakan di daerah Gandul, Depok. Iya makin menjauh dari wilayah kerja dan kantor. Tapi namanya susah susah gampang mencari rumah petakan, ya bro and sis. Cukup dimaklumi mengapa pilihannya malah ke Gandul. Padahal kerjanya di daerah Blok S. Huaaaa, nangis nangis dech, tapi hidup itu perjuangan.
Rumah petakan ini cukup manusiawi. Letaknya memang agak menurun ke belakang (lagi?) tapi rumah petakanku terletak di bagian depan sendiri kok. Cuma untuk menuju ke rumah petakan, harus menuruni tanah merah yang kalau hujan, jeblok, dan kalau enggak pintar menggunakan sepeda motor, bisa tergelincir. Masya Allah semua indah-indah tanpa ada rasa menyesal. Beginilah kalau sudah menikah, semua terasa indah ye kan. Pernah saya pulang malam hujan-hujan, banjir di sepanjang jalan dan jalannya muter gitu. Sepeda motor saya letakkan begitu saja di atas dan saat suami pulang baru diturunin. 😊
Susah begitu kok dibilang manusiawi, Mbaksay? iya manusiawi itu karena ruang tidurnya memiliki sebuah pintu, yah meski ruangannya tetap tidak memiliki jendela, tapi lumayanlah ya, kamarnya ada pintunya. Ruangannya juga luas, bangunannya baru dan plafonnya tinggi. Kamar mandinya juga luas, jadi mesin cuci yang dimasukkan ke dalam kamar mandi, memiliki space yang cukup.
Apa? mesin cuci? iya, sesaat setelah menikah, barang mevvah pertama yang dibelikan oleh suami adalah mesin cuci. Alasannya patut loh dibaca untuk kalian yang akan menikah dan malas ngebantuin istrinya nyuci. Iya, alasan terhot adalah malas nyuci. Padahal alasan sebetulnya adalah, suamiku ini tidak rela melihat istrinya ngucek dan lelah nyuci. Meski nyuci bareng itulah romantismenya ye kan. Tapi ya begitulah suamiku, harus disyukuri kan.
Dan bagi penyewa petakan, mesin cucinya diletakan ya di kamar mandi. Sebetulnya biasa saja saya meletakan di ruang dapur, tapi kok memaksakan sekali ya. Rumah petakan di daerah Gandul menjadi rumah petakan terakhir yang kami sewa. Alhamdulillah anak pertama kami, tidak pernah berada di rumah tersebut. Karena setelah lahiran, saya memutuskan untuk resign dari pekerjaan, setelah menerima kabar bahwa suami ditempatkan di Kota Semarang setelah pindah pekerjaan.
Rasanya saya tidak sanggup untuk melakukan LDR, apalagi baru memiliki bayi merah. Rasanya keputusan terbaik untuk resign, sembari membayangkan, saya bakal naik dan turun melewati jalanan yang kadang jeblok dengan bayi merah?. Selain itu pengasuh anak juga tidak kunjung ditemukan. Hiks, Alhamdulillah semua indah dan semua layak untuk diceritakan bahwa kami baik-baik saja.
Alhamdulillah saya bahagia dan senang sekali pernah memiliki pengalaman tinggal di rumah petakan. Warna-warni pencarian rumah petakan yang begitu panjang, begitu pelik, begitu ngenes. Iya ngenesnya tuh, sudah cocok rumahnya, sudah cocok suasananya, susah cocok harganya, eh tidak ada yang kosong. Itu yang paling membuat hati terasa haduh, kenapa gak dari kemarin neng, baru saja dipanjer. Uhuuy, rasanya tuh tidak pernah diketahui oleh pasangan yang belum pernah melakukan pencarian rumah petak, seperti kami, saya dan suami.
Alhamdulillah anak pertamaku sudah paham saat saya menceritakan kenangan tinggal di rumah petakan. Sewaktu jalan-jalan ke daerah Pangkalan Jati dan Gandul bersama anak-anak, sudah pasti dong, bibir ini menceritakan kepada mereka. Itu loh rumah petakan ummi dan abi dulu ke arah sana. Tapi belum pernah berhenti dan menyambangi, hehehehee. Asyik kali ya, turun terus kasih lihat ke anak-anak rumah petak yang pernah kami tinggali sebelum ada mereka.
Baiklah, semoga kita semua diberikan kecukupan iman dan nikmat sehat, nikmat rejeki untuk senantiasa mendapatkan kesempatan yang terindah, aamiin.
buat investasi lumayan juga ya beli rumah petakan dan bisa disewain pula.
ReplyDeleteiya tuh, bisa menjadi pilihan investasi y
DeleteYa ampun nggak bisa membayangkan deh waktu hamil terus malam hari ada kecoa
ReplyDeleteJangan dibayangin
DeleteWah rumah petakannya ada sejarahnya tersendiri nih hehe. Yang bisa dikenang anaknya
ReplyDeleteAlhamdulillah pernah merasakan rumah petakan
DeleteTernyata susah juga ya Mbak mencari rumah petak yang sesuai dengan keinginan kita
ReplyDeletesusah susah gampang
DeleteWah jadi kenangan yang indah ya Mbak. Namun, juga ada nggak enaknya sih hehe
ReplyDeletepastilah
DeleteWah thanks Mbak sharingnya. Semoga keluarganya bahagia dan sehat selalu ya
ReplyDeleteAku baru nikah pindah-pindah kontrakan Mbk, mengalami gak punya TV dan mesin cuci, akhirnya melewati masa itu ya.
ReplyDeleteAlhamdulillah, pindah pindah menjadi cerita untuk dikenang
DeleteMbaaa aku juga pernah tinggal di rumah petakan dan ga cuman kecoa huhuhu sedih tapi juga nyinying ampun deh :( untungnya ga lama karena kami segera pindah ke rumah yang masih dalam tahap membangun ah daripada anak juga sakit2an karena kondisi yang kurang baik
ReplyDeleteKenangan di rumah petakan ya Astin, yang bisa dicetain ke anak2. Asal semua dijalani bersama dengan pasangan, semuanya akan terasa lebih mudah ya. Btw aku jadi inget, pernah nginep di sebuah homestay, eh ada kecoanya hiks.
ReplyDeleteBaca ini aku jadi ketularan ikutan bahagiaaaaaa Mba.
ReplyDeletePokoke segala hal dalam hidup ini WAJIB BANGET kita syukuri ya Mba
TabarokAllah
--https://bukanbocahbiasa(dot)com--
Alhamdulillah ya sekarang semuanya sudah lebih baik...
ReplyDeleteKalau di temoat saya, banyak rumah petakan istilahnya kontrakan. Adanya RSUD Pagelaran dekat sini bikin banyak pendatang dan warga setempat membuat lahan tanah sawahnya jadi rumah petak petak gitu, ya rumah kontrakan itu.
Rumah petakan jadi kenangan yang bisa dituturkan pada anak-anak ya. Tapi rumah petakan ini kayaknya cocok untuk keluarga yang baru nikah gitu, atau jomblo yang ingin investasi dari hasil kerjanya
ReplyDeleteKenangan di rumah petak itu memang tak terlupakan bagi perantau ya, mba.
ReplyDeleteSaya juga pernah tinggal rumah petakan. Kalau yg baru menikah dan dua2nya kerja dr pagi hingga sore, mending di petakan daripada kontrakan. Lebih mudah beberesnya :D
Indah sekali artikel ini mba.
ReplyDeleteSungguh membuat kita semua harus pandai bersyukur ya
--bukanbocahbiasa(dot)com--
Apapun kalo tinggal bareng suami itu tetap menyenangkan. Nggak terasa udah berapa tahun berlalu, dan jadi kenangan yang indah ya mbak
ReplyDeleteAlhamdulillah rumah petak jadi kenangan yang bisa diceritakan ke anak2. . Ikut mengaminkan doa2nya. ..
ReplyDeleteAku belum pernah tinggal di rumah petakan mba. Tapi pernah abis nikah langsung tingal di kos-kosan suami. Dan itu jujur jadi pengalaman yang berkesan. Hihihi
ReplyDeleteAlhamdulillah kami juga pernah merasakannya. Walau hanya beberapa bulan, jadi tau memulai hidup berumah tangga itu gak selalu mudah dan bisa jadi kenangan tersendiri.
ReplyDeleteDi belakang rumahku banyak juga rumah petak Mba..jd aku ga asing lg dgn istilah rumah petak ini..hehe..
ReplyDeleteAku juga pernah tinggal di rumah petak. Waktu anak-anak masih balita. Ya, buat kenangan, step yg harus dijalani dalam hidup. Kalau kakakku punya rumah petak disewain. Enak banget jadi pasive income.
ReplyDeletekalau tinggal sama keluarga, mau rumah petak sederhana pun hati tenang. Yang penting jangan lupa bersyukur.
ReplyDeleteAlhamdulillah, akhirnya jadi pengalaman seru ya mbak bisa diceritakan ke anak saat gede, jadi lebih bersyukur dengan semua yang didapat..senang bacanya..
ReplyDeleteAlhamdulillah astin orangnya tenang. Temanku hamil malam2 pas ke kamar mandi ketemu beberapa cacing yang lagi gelut sampe ngebuntel, kaget banget sampe pendarahan hamilnya saking kagetnya loh.
ReplyDeleteAku gak asing sih dengan rumah petak karena sejak pindah ke Jakarta memilih tinggal di rumah petak. Kebetulan rumah petak yang kutinggali saat ini para tetangganya baik-baik banget makanya sampai sekarang betah.
ReplyDeleteMashaAllah mb.. semoga menjadi kenangan indah juga ya buat anak anak, bahwa kita harus selalu bersyukur karena masih bisa tinggal dirumah walaupun rumah petak dan masih banyak saudara saudara kita diluar sana yang tinggal diluar rumah tampa keluarga.. semoga kedepannya kehidupan kita semua semakin lebih baik ya mbak
ReplyDeleteBiarpun rumah petak, kalau ditinggali berdua saja, tanpa campur tangan keluarga, lebih nyaman ya mbak. Mau ngapain juga di rumah, ya cuek aja, wong rumah juga dibayar sendiri sewanya
ReplyDeleteawal-awal nikah, aku tinggal di rumah petakan juga mba, malah sampai darell, anakku, usianya 1 tahunan. Alhamdulillah yang penting gak keujanan dan kedinginan ya
ReplyDeleteRumah pertama ku saat habis nikah adalah rumah di gang kecil.
ReplyDeleteGak punya halaman, dan setiap ada orang lewat depan rumah, selalu terdengar jelas sekali obrolan mereka.
Huhu...dan parahnya, sering banget ada orang lewat.
Tapi kami bersyukur...
Karena dekat sekali dengan tetangga yang sudah seperti keluarga.
saling bantu dan tepa slira.
Aku juga bahagia banget bisa dapet rumah mba.. memang harus niat dan disiplin ya
ReplyDeleteBisa jadi bahan cerita dan nostalgia tiap kali lewat jalan dan rumah petak itu yah mbak,
ReplyDeleteAku belum nikah, cuman sama pasangan membahas soal nanti mau tinggal di mana setelah nikah pun juga ujung2nya bahas tempat tinggal mbak,
Uwuh jadi tahu deh rumah petak tuh macam mana mbak hehheee
Makasih untuk sharingnya Mbak ^_^
Kalau punya rumah petak, minimal 5 pintu aja rasanya udah aman sekali ya untuk dijadikan investasi. Apalagi sekarang ini banyak juga yang masih mencari rumah petak.
ReplyDeleteDi manapun kalau rumah ada kecoanya itu memang menggelikan. Lebih baik pindah rumah, ya, Mbak. Tapi ya itu perlu perjuangan mencari rumah petakan.
ReplyDeleteRumah petakan itu semacam rumah minimalis, ya. Dari ukurannya aja yang mevvah 3 x 9 mtr.
Dulu waktu bapak baru pindah ke Bengkulu pernah juga tinggal di rumah petak sebentar. Alhamdulillah sudah nggak lagi sekarang
ReplyDeleteTermasuk besar itu petakannya Mak. Saya maalh selama 4 tahun setelah menikah sewanya petakan yang cuma 2. Kamar ama dapur aja adanya. Barang-barang pun nyimpennya di kamar, soalnya dapur smepit, ibaratnya, bisa naruh kompor aja.
ReplyDeleteKalau dua ruang aku pernah denger, ya begitulah Mbak, bisa dibayanginlah ya, hehehe
DeleteDulu selesai kuliah dan nyambi2 kerja aku jg tinggal di rumah petakan gt mba, ngontrak rame2 sm temen2 trus pas akhirnya nikah lanjut sm suami smp bbrp bln awal pernikahan...
ReplyDeleteWaaah seru ya, kalau sebelum menikah aku tinggal di kos kosan Mbak,
DeleteBeli rumah emang kayak jodoh ya mba.. harus cati yang cocok.. tapi susah.. hihi dan gak kayak beli kacang.. harus dipertimbangin segala sesuatunya..
DeleteNah aku jadi ingat dulu pas tinggal di daerah Jagakarsa Jakarta Selatan, tetangga banyak tinggal di rumah petakan seperti ini.
DeleteAku dari kecil sampai segedhe ini tinggal di desa, belum rasain rumah petakan. Nanti kalau udah nikah, maunya ya punya rumah sendiri, gak papa kalau petak. Soalnya aku orangnya kurang rajin. Rumah besar, bingung kalau beres2, hahaha
ReplyDeleteAku juga dulu mba sblm punya rumah hmpir 5 th di petakan di Jakarta Barat,, penuh suka duka ya mba krn kecil bngt
ReplyDeleteGak apa-apa kalo baru nikah tinggal di petakan, biar maju mundur kena sama suami kan cepet punya momongan wkwk
ReplyDeletePengen sekali punya rumah aku tuh
ReplyDeleteSelalu berdoa semoga dimudahkan punya rumah sendiri
Sekarang tinggal di rumah petakan juga saya
Bisa untuk cerita anak cucu ya perjuangan kita untuk memiliki rumah itu. Ibaratnya bersakit-sakit dahulu, hidup tenang di kemudian harinya.
ReplyDeleteTinggal di rumah petakan emang ada kenangan tersendiri ya, aku pun juga mengalami, abis nikah entah berapa kali pindah kontrakan, mana sempat motor hilang karena rumah kontrakan enggak kokoh hiks...
ReplyDelete